Kamis, 25 Oktober 2018

Rabu, 24 Oktober 2018

Pendapat Hukum (Legal Opinion) tentang revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3).



I.                   Kasus Posisi:
Pada tanggal 12 Februari 2018 Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden (yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM) menyetujui revisi atas Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Revisi terhadap Undang-Undang MD3 tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat karena DPR dinilai anti kritik dan menjadi kebal hukum. Hal itu dikarenakan perubahan dalam Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Akibat revisi UU MD3 ini terjadi banyak protes di kalangan masyarakat yang menuntut UU MD3 yang telah disetujui agar dibatalkan.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mendorong pihak yang tidak setuju dengan revisi UU MD3 untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan Judicial Review. Joko Widodo sendiri diketahui menolak menandatangani UU MD3 yang telah disahkan tersebut karena belum menerima klarifikasi dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pasal pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat.
Namun walaupun Presiden menolak menandatangani UU MD3 yang telah direvisi tersebut, UU itu akan otomatis sah dan berlaku terhitung 30 hari sejak UU MD3 tersebut disetujui bersama. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Maret 2018, Revisi UU MD3 yang telah disetujui bersama tersebut resmi diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018.



I.                   Sumber Hukum:
1.  Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
            Pasal 20 ayat (2) : “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
            Pasal 20 ayat (4) : “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.”
            Pasal 20 ayat (5) : “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
            Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
            Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
            Pasal 28J ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

2.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah
            Pasal 122 huruf k : “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
            Pasal 245 ayat (1) : “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”

3.  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
            Pasal 49 ayat (2) : “Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.”


III.             Isu Hukum:
Apakah Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 yang dianggap kontroversial oleh masyarakat karena anti kritik dan menjadikan DPR kebal hukum sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Apakah proses pengundangan UU MD3 sah dan sesuai dengan Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 20 ayat (5) meskipun Presiden tidak menandatangani UU MD3 yang telah disetujui bersama?

IV.             Analisis:
            Isu Satu:
            Isu pertama terbagi menjadi 2 pokok bahasan yaitu terkait anti kritik yang didasarkan pada Pasal 122 huruf k sesuai atau tidak dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan terkait DPR menjadi kebal hukum yang didasarkan pada Pasal 245 ayat (1) sesuai atau tidak dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945:
a.      Anti-Kritik
Kontroversi terhadap Pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 yang oleh masyarakat dinilai merupakan perwujudan dari sikap DPR yang anti kritik karena dalam pasal tersebut ditentukan bahwa DPR atau anggota DPR dapat melakukan langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap setiap orang yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR, termasuk pendapat atau kritik yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR. Sehingga apabila ada orang yang melakukan kritik atau mengeluarkan pendapatnya terhadap DPR atau anggota DPR dan dinilai merendahkan kehormatan, maka orang tersebut dapat diproses hukum atau proses lainnya.
Sedangkan, Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sendiri telah menjamin hak hak warga negara termasuk didalamnya hak untuk dapat mengeluarkan pendapat secara bebas. Sehinngga seharusnya seseorang tidak dapat dituntut secara hukum atau tuntutan lain nya dikarenakan kritik atau pendapatnya.
Sehingga muncul pertanyaan apakah Pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945?
Untuk itu perlu dipahami arti kebebasan berpendapat serta batasan batasan nya.
Berdasarkan Pasal 28J ayat (2), hak hak warga negara dibatasi oleh:
1)      Hak dan Kebebasan orang lain;
2)      Nilai moral dan nilai keagamaan;
3)      Keamanan dan ketertiban umum.
Sehingga seharusnya jika pendapat atau kritik yang ditujukan pada DPR atau anggota DPR telah sesuai dengan nilai moral dan nilai keagamaan, menghormati hak dan kebebasan orang lain serta tidak menimbulkan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban umum, orang yang melakukan kritik tersebut tidak dapat disalahkan dan dituntut dalam bentuk apapun, baik hukum atau bentuk tuntutan lain.
Sebaliknya, jika ternyata pendapat atau kritik yang disampaikan oleh seseorang tidak memerhatikan ketentuan Pasal 28J ayat (2) tersebut dan cenderung merendahkan martabat dan kehormatan, apalagi mengandung fitnah yang ditujukan pada diri pribadi anggota DPR, maka orang tersebut sudah selayaknya dituntut secara hukum.
Dengan kata lain, hak hak warga negara yang ditentukan dalam pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945, termasuk hak mengeluarkan pendapat atau kritik harus memerhatikan batasan batasan tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 telah sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan catatan memerhatikan hubungan atau kaitan pasal 28E ayat (3) dan pasal 28J ayat (2).
b.      Kebal Hukum
Kontroversi berikutnya dalam UU MD3 yaitu berkaitan dengan kekebalan hukum yang didapatkan anggota DPR karena berdasarkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, anggota DPR yang akan dipanggil atau dimintai keterangan terkait tindak pidana yang melibatkan dirinya dan diluar kewenangan dan tugasnya sebagai anggota DPR harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari Presiden, dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan Dewan Kehormatan Dewan.
Namun pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum (Equality Before the Law). Sehingga seharusnya tidak ada satupun klasifikasi tindak pidana yang harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden sebelum dapat dilakukan pemanggilan dan permintaan keterangan terkait tindak pidana yang melibatkan anggota DPR.
Dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan jelas disebutkan frasa “Setiap Orang”. Artinya baik Presiden, anggota DPR, pejabat pemerintah maupun masyarakat biasa memiliki kedudukan yang sama didepan hukum, tanpa memandang kedudukan sosial atau ekonomi orang tersebut.
Sehingga tidak benar jika anggota DPR yang melakukan tindak pidana yang tidak ada kaitan nya dengan tugas dan wewenangnya sebagi anggota DPR diberikan hak khusus agar dapat dipanggil dan dilakukan pemeriksaan hukum. Hak imunitas DPR hanya terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan wewenangnya dalam menjalankan tugas sebagai anggota DPR.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasal 245 ayat (1) sangat bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara hukum dan asas persamaan kedudukan dihadapan hukum (Equality Before the Law) atau Inkonstitusional.
            Isu Dua:
Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) bahwa setiap rancangan undang-undang, termasuk revisi UU MD3 dibahas oleh DPR bersama sama dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Dalam hal tersebut, Presiden dapat memerintahkan menteri tertentu untuk mewakili dirinya dalam membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR. Hal tersebut didasari oleh Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Sehingga kehadiran menteri dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut sudah cukup mewakili kehadiran Presiden. Artinya, menteri yang ditugasi tersebut tetap membahas Rancangan Undang-Undang atas nama Presiden, bukan atas nama dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang termasuk revisi UU MD3 dibahas oleh DPR bersama sama dengan Presiden dapat terpenuhi. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang yang memperoleh kesepakatan bersama selanjutnya dimintakan tanda tangan Presiden untuk pengesahan nya.
Selanjutnya, apabila Revisi UU MD3 yang telah disepakati oleh DPR bersama sama dengan Presiden (yang diwakili oleh menteri) tidak ditandatangani oleh Presiden dengan berbagai macam alasan, menurut pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, Revisi UU MD3 tersebut otomatis sah menjadi Undang-Undang dan wajib untuk diundangkan. Sehingga pengesahan dari Presiden tidak diperlukan lagi, karena Konstitusi menganggap bahwa Presiden telah setuju dengan suatu Undang-Undang ketika menyepakati bersama dengan DPR.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa proses perubahan Rancangan Undang-Undang tentang Revisi UU MD3 menjadi Undang-Undang tersebut telah sah dan sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945.

V.                Kesimpulan
Dengan analisis terhadap isu satu dan isu dua, dapat disimpulkan bahwa Pasal 122 huruf k UU MD3 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 serta Prinsip Negara Hukum dan asas Equality Before the Law.
Namun karena proses pembentukan UU MD3 yang telah sesuai dengan Pasal 20 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945, UU MD3 sah dan berlaku sejak tanggal diundangkan.
Oleh karena itu, proses pembentukan dan pengundangan UU MD3 telah benar dan tepat sesuai dengan ketentuan Konstitusi. Namun, apabila masyarakat memandang bahwa materi dari UU MD3 bertentangan dengan Konstitusi, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan Judicial Review terhadap UU MD3 melalui Mahkamah Konstitusi.

Legal Opinion
Disusun tanggal 19 April 2018




Referensi:
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum. 2016. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tragedi Deepwater Horizon sebagai Penyebab Kerusakan Ekosistem Teluk Meksiko, Sebuah Kajian terhadap Film "Deep Water Horizon"




Pada tanggal 20 April 2010, Deepwater Horizon, sebuah rig pengeboran minyak lepas pantai yang dioperasikan oleh kontraktor Transocean memulai pengeboran di selatan pantai Louisiana atas nama BP (British Petroleum). Kepala teknisi elektronik Michael “Mike” William dan manajer instalasi pengeboran lepas pantai James “Mr. Jimmy” Harrell dikejutkan ketika tahu bahwa pekerja Schlumberger yang bertugas menguji ketahanan semen yang baru diselesaikan dikirim pulang lebih awal tanpa melakukan uji ketahanan kerja semen. Kemudian diketahui bahwa hal tersebut terjadi karena desakan manajer BP yaitu Donald Vidrine dan Robert Kaluza. Selain itu juga diketahui bahwa manajer BP tidak melakukan perbaikan pada peralatan Deepwater Horizon dengan alasan penghematan anggaran.
Harrel bertemu dengan Vidrine dan membujuknya untuk melakukan uji tekanan negatif, yang ternyata malah akan semakin melemahkan semen yang dari awal memang sudah dalam kondisi kurang baik. Namun kesabaran Vidrine semakin menipis dan membuatnya mendesak pekerja untuk segera melakukan pengeboran dan memindahkan lumpur tanpa menunggu konfirmasi terlebih dahulu dari Herrel terkait dengan hasil tes semen yang diterimanya. Pada awalnya, operasi yang dilakukan berjalan dengan baik, tapi kinerja semen akhirnya gagal total dan memicu ledakan besar yang membunuh beberapa pekerja. Setelah serangkaian kerusakan peralatan, ditambah dengan usaha yang gagal untuk menyegel sumur yang berakibat minyak terbakar dan membunuh beberapa pekerja lainnya.
Dengan minyak yang sudah tumpah ke lautan, kapal pengambil lumpur memulai evakuasi ketika melihat pekerja rig pengeboran berusaha mengevakuasi diri. Harrel yang masih hidup dan terluka parah setelah terkena ledakan dan membentur tembok diselamatkan oleh Mike dan memungkinkan untuk mengontrol situasi yang terjadi di Deepwater Horizon. Yang pada akhirnya diketahui bahwa rig pengeboran tetap tidak dapat diselamatkan lagi.
Pada malam itu, kobaran api membakar seluruh Deepwater Horizon yang membuat penjaga pantai mengetahuinya melalui citra satelit dan mengirimkan kapal serta helikopter untuk menyelamatkan pekerja.
Diakhir film ditunjukkan bahwa setelah tragedi tersebut, baik Transocean atau Britain Petroleum sama sama dituntut atas kejadian tersebut. Film diakhiri dengan kutipan teks “bahwa kobaran api Deepwater Horizon tetap menyala selama 87 hari, menumpahkan kira kira 210 juta galon minyak ke teluk Meksiko. Itu adalah bencana minyak terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.” Selain itu, kejadian tersebut juga mengakibatkan 11 pekerja tewas, pencemaran lingkungan laut, matinya hewan laut dan burung serta hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar pantai.
Untuk itu, apakah teluk Meksiko dapat menggugat atas pencemaran terhadap dirinya?
Tidak, karena teluk Meksiko bukan merupakan subjek hukum melainkan suatu bentang alam, sehingga tidak dapat menuntut dan dilakukan penuntutan terhadapnya. Namun walaupun begitu, terhadap tragedi yang mengakibatkan 11 pekerja tewas dan tumpahnya minyak ke laut tetap dapat dilakukan penuntutan, karena keduanya merupakan objek hukum. Sehingga tidak mungkin apabila sebuah objek hukum melakukan tuntutan terhadap subjek hukum. Maka subjek hukum yang merasa dirugikan atau yang karena kewajibannya dapat melakukan penuntutan terhadap pihak pihak yang menyebabkan terjadinya tragedi tersebut. Oleh karena itu, teluk Meksiko serta ekosistem lautnya seperti ikan, burung dan terumbu karang yang rusak karena ulah manusia tidak akan dibiarkan begitu saja.
Sebagai sebuah teluk yang merupakan wilayah teritori negara Amerika Serikat, tentu terhadap pencemaran dan kerusakan yang diakibatkan tumpahnya minyak dalam tragedi Deepwater Horizon dapat dilakukan penuntutan. Tumpahan minyak tersebut berdampak pada tercemarnya lingkungan laut negara bagian Louisiana, Mississipi, Florida, Alabama dan Texas. Sehingga sebagai subjek hukum, baik pemerintah negara bagian maupun pemerintah federal dapat menuntut British Petroleum, Transocean atau pihak lain yang terlibat dalam peristiwa Deepwater Horizon. Oleh karena itu, penuntutan terhadap tewasnya 11 pekerja dan tercemarnya lingkungan laut tetap dilakukan oleh pemerintah negara bagian atau pemerintah federal sebagai subjek hukum yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan hukum.
Tuntutan yang dapat dilakukan atas dasar baik kerugian materi seperti rusaknya ekosistem laut, tewasnya 11 pekerja atau hilangnya mata pencaharian penduduk sekitar ataupun kerugian immateri seperti timbulnya rasa ketidaknyamanan, trauma dan was-was masyarakat sekitar pantai akibat tercemarnya lingkungan. Serta bentuk tuntutan yang dapat dilakukan yaitu dapat berupa pertanggungjawaban untuk menanggulangi pencemaran laut dan mengembalikan nya seperti semula dan ganti rugi  atau tuntutan terhadap tewasnya 11 pekerja. Untuk tuntutan terkait ganti rugi dan penanggulangan pencemaran laut dapat ditujukan pada perusahaan BP selaku pengguna utama atau Transocean sebagai kontraktor. Sedangkan penuntutan hukum terkait tewasnya 11 pekerja dapat dilakukan terhadap manajer BP yang karena kelalaian dan ketidaktaatannya pada prosedur mengakibatkan tewasnya 11 pekerja.


Kumpulan Foto Tragedi Deepwater Horizon:






Sumber Foto:
https://www.forbes.com/sites/johnarcher/2017/02/01/deepwater-horizon-ultra-hd-blu-ray-review-keeping-it-real/
https://safety4sea.com/cm-learn-from-the-past-deepwater-horizon-oil-spill/
https://www.tampabay.com/florida-politics/buzz/2018/08/27/deepwater-horizon-oil-spill-didnt-really-hurt-florida-pro-drilling-leaders-say/
http://this.deakin.edu.au/society/on-this-day-the-deepwater-horizon-oil-spill
https://www.newyorker.com/magazine/2011/03/14/the-gulf-war
https://ocean.si.edu/conservation/pollution/oiled-seaweed-after-gulf-oil-spill

Perbandingan Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi dipandang dari Segi Keefektifan Pemerintahan


A. Latar Belakang
          Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap terjadi pergantian presiden Republik Indonesia, akan selalu diikuti pergantian kebijakan. Termasuk kebijakan kebijakan dalam hal pembangunan infrastruktur. Budaya “ganti pimpinan ganti kebijakan” tersebut tidak hanya berlaku bagi presiden, namun saat ini kepala daerah pun sepertinya sudah tertular budaya tersebut. Oleh karena itu, gonta-ganti kebijakan tersebut sangat mungkin sekali terjadi pembuangan dana negara yang sia-sia, atau dapat disebut mubazir. Contoh yang mudah sekali diingat adalah mangkraknya mega proyek pembangunan infrastruktur Wisma Atlet di Hambalang yang sampai saat ini tidak jelas kelanjutan nya.
Budaya pergantian kebijakan tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik di Indonesia. Karena pencalonan seseorang menjadi Presiden atau Kepala Daerah seperti Gubernur atau Bupati/Walikota tidak bisa dihindarkan campur tangan Partai Politik didalamnya. Baik sebagai pihak yang memperkuat posisi calon Presiden/Kepala Daerah atau sebagai perumus kebijakan yang nantinya akan dijalankan oleh calon Presiden atau Kepala Daerah jika terpilih. Sehingga Ideologi atau arah politik suatu partai juga memengaruhi kebijakan calon Presiden atau Kepala Daerah kedepannya. Walaupun dalam teori seharusnya Presiden dan Kepala Daerah harus independen dan tidak bergantung pada kebijakan yang ditetapkan partai pengusung, namun dalam praktek sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden atau Kepala Daerah sudah menjadi seperti Partisan.
Oleh karena itu, jika partai yang satu dengan partai lainnya memiliki perbedaan arah politik dan kebijakan tentunya akan mengganggu keefektifan pemerintahan. Jika perbedaan yang ada tidak terlalu besar, mungkin masih bisa dihindarkan dan diminimalisir. Sehingga tidak perlu terjadi pemborosan anggaran karena pergantian kebijakan yang menyebabkan mangkrak nya pembangunan Infrastruktur. Namun jika perbedaan antara partai yang berkuasa sebelumnya dan partai yang berkuasa saat ini sangat besar, sangat mungkin terjadi “banting setir” pergantian kebijakan. Sehingga menjadi pertanyaan, apakah dengan banyaknya partai politik di Indonesia saat ini bisa menjamin keefektifan pemerintahan.

B. Rumusan Masalah   
1. Bagaimana sistem Partai Politik di Indonesia Pasca Reformasi?
2. Bagaimana perbandingan sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi dengan Sistem Kepartaian masa orde baru dan Amerika Serikat dari segi keefektifan?
C. Kajian Kepustakaan
Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Sistem partai politik ini menjadi sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi antara partai politik di dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Untuk mempermudah memahami sistem partai politik sebaiknya diberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu. Parameter jumlah partai politik untuk menentukan tipe sistem partai politik. Tipe sistem kepartaian yang dikenal secara umum, dibedakan menjadi 3 sistem, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai.[1]
Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses itu menjadi sangat penting. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, sering kali penataan elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah. Logika yang digunakan sering kali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan komplikasi satu dengan lainnya.[2]
Jika kita telaah masalah penggunaan sistem multipartai, maka Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan pluralitas sosial yang kompleks. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia menggunakan sistem multipartai.[3]
Di Indonesia dengan masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin akan dibawa menuju sistem dwi partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah jalan tengah antara kombinasi sistem presidensial dengan multi partai yang sederhana. Sistem multi partai yang sederhana harus didukung oleh koalisi partai yang ramping, disiplin dan mengikat. Selanjutnya untuk menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat dua mekanisme yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu meningkatkan ambang batas (PT) dan memperkecil district magnitude. [4]
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang efektif dan stabil di Indonesia menyederhanakan jumlah partai politik guna memperkuat Sistem Presidensial; Menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Legislatif secara bersama-sama (Concurrent Elections).[5]

D. Pembahasan
1. Sistem Partai Politik Pasca Reformasi
Salah satu buah hasil reformasi adalah perubahan sistem kepartaian. Pada masa orde baru partai politik tidak diberi ruang untuk berkembang dan melaksanakan fungsi-fungsinya secara maksimal dalam sistem politik demokrasi. Maka dalam reformasi sistem kepartaian terdapat banyak perubahan antara lain jika pada masa orde baru partai-partai politik (PPP dan PDI) tidak diizinkan untuk beroperasi sampai ketingkat grass root/akar rumput (desa). Akibatnya, partai politik tidak mempunyai kekuatan yang mengakar kebawah. Tapi setelah lahirnya reformasi, partai politik mempunyai ruang yang luas untuk berkembang.
Indonesia pasca Orde Baru mengalami perubahan dalam penerapan sistem politik, dari sistem politik otoritarian ke sistem politik demokratis. Dengan diterapkan sistem demokratis memberikan perubahan terhadap dinamika kehidupan politik. Di antara perubahan yang terjadi adalah jaminan kebebasan berekspresi dan berasosiasi untuk mendirikan dan atau membentuk partai politik (parpol). Tidak seperti era sebelumnya, pada masa pasca Orde Baru ini yang disebut sebagai era reformasi, setiap kelompok atau golongan bebas membentuk dan mendirikan parpol serta tidak ada pembatasan jumlah partai politik.
Namun perubahan sistem kepartaian juga memiliki sisi negatif. Walaupun perubahan itu telah membawa angin segar bagi kebebasan berpolitik di Indonesia, justru dengan banyaknya partai yang eksis cenderung akan terjadi benturan kebijakan dan arah politik dari partai yang satu dengan partai lainnya. Salah satunya adalah gontai-ganti kebijakan. Hal tersebut tentu berpengaruh kepada keefektifan Pemerintahan.
Oleh karena itu, pasca reformasi Indonesia telah mengimplementasikan kebebasan berpolitik yang sebenar-benarnya dengan membebaskan masyarakat untuk membentuk partai politik. Hal tersebut karena Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dengan sistem partai politik Multi-partai.
2. Perbandingan sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi dengan Sistem Kepartaian orde baru dan Amerika Serikat dari segi keefektifan pemerintahan
          Pasca Reformasi, Indonesia menganut sistem Multi-partai. Artinya, masyarakat diberikan kebebasan dalam mendirikan partai politik dan menyampaikan aspirasinya lewat partai tersebut. Sistem Multi-partai juga terjadi pada masa orde baru, dengan adanya 3 partai pada saat itu, yakni Partai Golkar, PPP dan PDI. Namun dalam penerapan nya, walaupun sama sama Multi-partai, penerapan pada masa orde baru sangat otoriter dan cenderung telah diatur. Sehingga walaupun ada 3 partai yang eksis, namun yang memenangkan pemilu hanya partai Golkar. Berbeda dengan masa pasca reformasi, setiap partai memiliki peluang yang sama untuk memenangkan pemilu.
          Dari segi keefektifan pemerintahan, utamanya dalam pengambilan kebijakan. Orde baru lebih baik karena dengan tidak berubahnya partai politik yang memegang kekuasaan, maka kebijakan yang diambil akan sesuai dengan kebijakan sebelumnya yang telah dijalankan. Namun hal tersebut cenderung otoriter karena mengorbankan hakikat demokrasi yang sejati. Oleh karena itu, walaupun orde baru lebih stabil dan terjamin keberlangsungan kebijakan nya, masa pasca reformasi lebih baik karena hakikat demokrasi dapat terlaksana dengan baik. Dengan catatan, apabila terjadi pergantian kekuasaan, diperlukan kedewasaan dari penguasa dan partai pengusung yang baru untuk tidak malu dan gengsi untuk melanjutkan kebijakan penguasa sebelumnya, seperti pembangunan infrastruktur.
          Selanjutnya, jika dibandingkan dengan negara yang menganut sistem kepartaian Dwi-Partai seperti Amerika Serikat, sistem Multi-Partai Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistem Multi-partai Indonesia terletak pada kebebasan berdemokrasi termasuk mendirikan partai. Di Amerika Serikat hanya ada 2 partai yang eksis yakni Partai Republik dan Partai Republik. Sementara di Indonesia masyarakat dapat dengan bebas mendirikan dan membentuk partai baru sesuai dengan arah politiknya. Sebenarnya, di Amerika Serikat juga terdapat partai partai kecil lain selain 2 partai tersebut, namun dalam prakteknya hanya 2 partai itu yang bisa mengikuti pemilu.
          Sementara itu, kekurangan sistem Multi-partai di Indonesia terletak pada ketidakjelasan terkait partai partai yang ada. Jika di Amerika Serikat antara partai Republik dan Demokrat memiliki pandangan yang sangat kontras sehingga mudah membedakan, di Indonesia antara partai yang satu dengan partai yang lain kadang menganut Ideologi yang sama. Namun yang membingungkan, kesamaan Ideologi tersebut tidak diikuti dengan kesamaan pandangan politik. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan kebijakan yang kontras diantara partai partai yang pada saat pemilu berkoalisi mendukung calon penguasa yang sama.
          Oleh karena itu, keefektifan pemerintahan dalam sistem Multi-partai sangat bergantung pada kedewasaan penguasa dan partai pengusungnya. Jika penguasa dapat bertindak dewasa dalam berdemokrasi, maka ia seharusnya dapat melanjutkan program kerja dan kebijakan dari penguasa sebelumnya. Karena pada prinsipnya, tidak ada penguasa yang membuat kebijakan tanpa memikirkannya matang matang. Semua penguasa pasti melakukan suatu kebijakan untuk kebaikan rakyatnya sendiri. Sehingga seharusnya proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti Wisma Atlet di Hambalang yang notabene merupakan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dapat dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo.
          Kedewasaan para penguasa sangat diperlukan dalam menyikapi kebijakan kebijakan penguasa sebelumnya. Sehingga apabila terjadi pergantian Presiden, Presiden yang menggantikan harus melanjutkan kebijakan presiden sebelumnya. Selama kebijakan tersebut benar benar demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Begitu juga sebaliknya, kedewasaan para penguasa juga diperlukan untuk menghentikan kebijakan kebijakan penguasa sebelumnya jika dinilai merugikan rakyat. Oleh karena itu, sistem Multi-partai di Indonesia dapat dijalankan dengan baik, dalam artian dapat mengakomodasi keperluan demokrasi dengan kebebasan mendirikan partai namun tanpa mengorbankan penyelenggaraan pemerintahan, utamanya dalam penggunaan Anggaran Negara dalam pembangunan infrastruktur.

E. Simpulan
1. Indonesia pasca reformasi menganut sistem Multi-partai. Sehingga setiap orang, kelompok atau golongan bebas membentuk dan mendirikan parpol serta tidak ada pembatasan jumlah partai politik. Perubahan sistem parpol berpengaruh pada keefektifan pemerintahan.
2. Keefektifan pemerintahan dalam sistem Multi-partai sangat bergantung pada kedewasaan penguasa dan partai pengusungnya. Sehingga sistem Multi-partai di Indonesia dapat dijalankan dengan baik, dalam artian dapat mengakomodasi keperluan demokrasi dengan kebebasan mendirikan partai namun tanpa mengorbankan penyelenggaraan pemerintahan, utamanya dalam penggunaan Anggaran Negara dalam pembangunan infrastruktur.

F. Daftar Rujukan
Jurnal Online:
Ø  Retno Saraswati, Desain Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif, Jurnal MMH, Jilid 41 No.1 Januari 2012. https://ejournal.undip.ac.id/article/view. diakses tanggal 3 Mei 2018.
Ø  Jumadi, Pengaruh Sistem Multi-Partai dalam Pemerintahan di Indonesia, JurnalAl-Daulah-Vol.4/No.1/Juni 2015. jurnal.uin-alauddin.ac.id/article/view. diakses tanggal 3 Mei 2018.
Ø  Firman Freaddy Busroh, Reformulasi Penerapan Electoral Threshold dalam Sistem Kepartaian di Indonesia, Jurnal Lex Librum, VoL III, No.2, Juni 2017. stihpada.ac.id/Post/files/original. diakses tanggal 3 Mei 2018.
Lain Lain:
Ø  FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian Indonesia 2020
Ø  Muhammad Ali Safa'at, 2011, Pembubaran Partai Politik, Jakarta: Rajawali Pers



[1] FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian Indonesia 2020, hlm. 122-123.
[2] Muhammad Ali Safa'at, 2011, Pembubaran Partai Politik, Jakarta: Rajawali Pers, hlm.58.
[3] Retno Saraswati, Desain Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif, Jurnal MMH, Jilid 41 No.1 Januari 2012, hlm.140.
[4] Jumadi, Pengaruh Sistem Multi-Partai dalam Pemerintahan di Indonesia, Jurnal Al-Daulah Vol.4/No.1/Juni 2015, hlm.150.
[5] Firman Freaddy Busroh, Reformulasi Penerapan Electoral Threshold dalam Sistem Kepartaian di Indonesia, Jurnal Lex Librum, VoL III, No.2, Juni 2017, hlm. 513-524.

Problematika Pertanggungjawaban Presiden


Presiden Republik Indonesia memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain sebagai kepala pemerintahan, presiden Republik Indonesia juga memiliki kedudukan sebagai kepala negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat wewenang yang dimiliki oleh presiden seperti memberi grasi, rehabilitasi, amnesti serta abolisi pada seseorang. Sehingga dengan ciri kedudukan presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensial.
Selain itu, sistem pemerintahan presidensial juga memiliki ciri-ciri lain di antaranya, yaitu: a. Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab pada kekuasaan legislatif,dan; b. Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh kekuasaan legislatif. Di samping ciri ciri tersebut, sistem presidensial juga memiliki kekurangan, di antaranya yaitu sistem pertanggungjawaban tidak jelas.
Oleh sebab itu, bahwa berdasarkan Pasal 6A ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sehingga seharusnya pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden dilakukan kepada rakyat.
Namun apakah pertanggungjawaban presiden sudah dilakukan secara benar sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yaitu dilakukan kepada rakyat?
Dalam Pasal 7A-7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya, dengan kata lain Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usulan DPR yang telah diperiksa, diadili dan diputus bersalah oleh MK.
Sehingga secara sekilas, sistem pertanggungjawaban presiden di Indonesia tidak jelas. Artinya mengapa lembaga perwakilan seperti DPR dapat mengajukan permintaan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sementara lembaga seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak dapat mengajukan usulan permintaan yang sama. Sedangkan baik anggota DPR atau DPD sama sama dipilih langsung oleh rakyat dan merupakan anggota MPR.
Jika dibandingkan dengan negara lain misalnya (ex) Uni Soviet dimana terdapat pembedaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, sistem pertanggungjawabannya lebih jelas. Kepala negara Uni Soviet merupakan Ketua Presidium Soviet Agung (President of the Presidium of the Supreme Soviet of the USSR), sementara kepala pemerintahan Uni Soviet merupakan Ketua Dewan Menteri (Council of Ministers of The USSR). Baik kepala negara maupun kepala pemerintahan Uni Soviet sama-sama ditunjuk atau dipilih oleh Soviet Agung (Supreme Soviet of the USSR). Sedangkan Soviet Agung sendiri terdiri dari dua kamar yaitu: Soviet Kesatuan (Soviet of the Union) dan Soviet Kebangsaan (Soviet of the Nationalities), dimana baik anggota Soviet Kesatuan atau  Soviet Kebangsaan sama sama dipilih oleh rakyat secara langsung. Lalu bagaimanakah sistem pertanggungjawaban di Uni Soviet?
Berdasarkan Pasal 48 Constitution (Fundamental Law) of the Union of Soviet Socialist Republic yang berbunyi “The Presidium of the Supreme Soviet of  the U.S.S.R. is accountable to the Supreme Soviet of the U.S.S.R. for all its activities” yang berarti bahwa ketua Presidium Soviet Agung yang juga merupakan kepala negara bertanggung jawab pada Soviet Agung itu sendiri. Demikian halnya dengan pertanggungjawaban ketua dewan menteri yang juga menjabat sebagai kepala pemerintahan juga bertanggung jawab pada Soviet Agung atau dalam jarak waktu sidang tertentu bertanggung jawab pada Presidium Soviet Agung.
Sehingga sistem pertanggungjawaban di Uni Soviet lebih jelas dan dijamin konstitusinya. Namun walaupun pemerintahan di Uni Soviet mirip dengan pemerintahan di Inggris yang juga membedakan kepala negara dan kepala pemerintahan, tetap tidak bisa disamakan. Karena kepala negara Inggris merupakan seorang Ratu/Raja yang dipilih bukan oleh rakyat/perwakilan nya, melainkan melalui garis keturunan. Yang pada faktanya sangat sulit bahkan mustahil untuk dijatuhkan atau dimintai pertanggungjawaban karena kewenangan kepala negara sangat terbatas. Hanya kepala pemerintahan atau dalam hal ini Perdana Menteri saja yang bisa dan mungkin untuk dimintai pertanggungjawaban oleh parlemen sebagai representasi dari rakyat.
Sehingga bagi Indonesia bisa memperoleh manfaat kebaikan sistem pertanggungjawaban di Uni Soviet tersebut. Artinya bahwa, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya tidak lagi hanya bisa dilakukan oleh DPR, namun baik yang mengusulkan dan yang memberhentikan yaitu MPR sebagai representasi Rakyat Indonesia yang beranggotakan seluruh anggota DPR dan DPD. Alternatif kedua yaitu memberikan kesempatan yang sama pada DPD untuk dapat mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan Alternatif ketiga yaitu dengan memberikan wewenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MK untuk menghindari silang pendapat antara MPR dan MK. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan sistem pertanggungjawaban tersebut perlu dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan sistem pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden.