Rabu, 24 Oktober 2018

Pendapat Hukum (Legal Opinion) tentang revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3).



I.                   Kasus Posisi:
Pada tanggal 12 Februari 2018 Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden (yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM) menyetujui revisi atas Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Revisi terhadap Undang-Undang MD3 tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat karena DPR dinilai anti kritik dan menjadi kebal hukum. Hal itu dikarenakan perubahan dalam Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Akibat revisi UU MD3 ini terjadi banyak protes di kalangan masyarakat yang menuntut UU MD3 yang telah disetujui agar dibatalkan.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mendorong pihak yang tidak setuju dengan revisi UU MD3 untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan Judicial Review. Joko Widodo sendiri diketahui menolak menandatangani UU MD3 yang telah disahkan tersebut karena belum menerima klarifikasi dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pasal pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat.
Namun walaupun Presiden menolak menandatangani UU MD3 yang telah direvisi tersebut, UU itu akan otomatis sah dan berlaku terhitung 30 hari sejak UU MD3 tersebut disetujui bersama. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Maret 2018, Revisi UU MD3 yang telah disetujui bersama tersebut resmi diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018.



I.                   Sumber Hukum:
1.  Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
            Pasal 20 ayat (2) : “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
            Pasal 20 ayat (4) : “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.”
            Pasal 20 ayat (5) : “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
            Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
            Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
            Pasal 28J ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

2.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah
            Pasal 122 huruf k : “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
            Pasal 245 ayat (1) : “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”

3.  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
            Pasal 49 ayat (2) : “Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.”


III.             Isu Hukum:
Apakah Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 yang dianggap kontroversial oleh masyarakat karena anti kritik dan menjadikan DPR kebal hukum sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Apakah proses pengundangan UU MD3 sah dan sesuai dengan Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 20 ayat (5) meskipun Presiden tidak menandatangani UU MD3 yang telah disetujui bersama?

IV.             Analisis:
            Isu Satu:
            Isu pertama terbagi menjadi 2 pokok bahasan yaitu terkait anti kritik yang didasarkan pada Pasal 122 huruf k sesuai atau tidak dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan terkait DPR menjadi kebal hukum yang didasarkan pada Pasal 245 ayat (1) sesuai atau tidak dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945:
a.      Anti-Kritik
Kontroversi terhadap Pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 yang oleh masyarakat dinilai merupakan perwujudan dari sikap DPR yang anti kritik karena dalam pasal tersebut ditentukan bahwa DPR atau anggota DPR dapat melakukan langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap setiap orang yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR, termasuk pendapat atau kritik yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR. Sehingga apabila ada orang yang melakukan kritik atau mengeluarkan pendapatnya terhadap DPR atau anggota DPR dan dinilai merendahkan kehormatan, maka orang tersebut dapat diproses hukum atau proses lainnya.
Sedangkan, Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sendiri telah menjamin hak hak warga negara termasuk didalamnya hak untuk dapat mengeluarkan pendapat secara bebas. Sehinngga seharusnya seseorang tidak dapat dituntut secara hukum atau tuntutan lain nya dikarenakan kritik atau pendapatnya.
Sehingga muncul pertanyaan apakah Pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945?
Untuk itu perlu dipahami arti kebebasan berpendapat serta batasan batasan nya.
Berdasarkan Pasal 28J ayat (2), hak hak warga negara dibatasi oleh:
1)      Hak dan Kebebasan orang lain;
2)      Nilai moral dan nilai keagamaan;
3)      Keamanan dan ketertiban umum.
Sehingga seharusnya jika pendapat atau kritik yang ditujukan pada DPR atau anggota DPR telah sesuai dengan nilai moral dan nilai keagamaan, menghormati hak dan kebebasan orang lain serta tidak menimbulkan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban umum, orang yang melakukan kritik tersebut tidak dapat disalahkan dan dituntut dalam bentuk apapun, baik hukum atau bentuk tuntutan lain.
Sebaliknya, jika ternyata pendapat atau kritik yang disampaikan oleh seseorang tidak memerhatikan ketentuan Pasal 28J ayat (2) tersebut dan cenderung merendahkan martabat dan kehormatan, apalagi mengandung fitnah yang ditujukan pada diri pribadi anggota DPR, maka orang tersebut sudah selayaknya dituntut secara hukum.
Dengan kata lain, hak hak warga negara yang ditentukan dalam pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945, termasuk hak mengeluarkan pendapat atau kritik harus memerhatikan batasan batasan tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 telah sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan catatan memerhatikan hubungan atau kaitan pasal 28E ayat (3) dan pasal 28J ayat (2).
b.      Kebal Hukum
Kontroversi berikutnya dalam UU MD3 yaitu berkaitan dengan kekebalan hukum yang didapatkan anggota DPR karena berdasarkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, anggota DPR yang akan dipanggil atau dimintai keterangan terkait tindak pidana yang melibatkan dirinya dan diluar kewenangan dan tugasnya sebagai anggota DPR harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari Presiden, dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan Dewan Kehormatan Dewan.
Namun pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum (Equality Before the Law). Sehingga seharusnya tidak ada satupun klasifikasi tindak pidana yang harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden sebelum dapat dilakukan pemanggilan dan permintaan keterangan terkait tindak pidana yang melibatkan anggota DPR.
Dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan jelas disebutkan frasa “Setiap Orang”. Artinya baik Presiden, anggota DPR, pejabat pemerintah maupun masyarakat biasa memiliki kedudukan yang sama didepan hukum, tanpa memandang kedudukan sosial atau ekonomi orang tersebut.
Sehingga tidak benar jika anggota DPR yang melakukan tindak pidana yang tidak ada kaitan nya dengan tugas dan wewenangnya sebagi anggota DPR diberikan hak khusus agar dapat dipanggil dan dilakukan pemeriksaan hukum. Hak imunitas DPR hanya terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan wewenangnya dalam menjalankan tugas sebagai anggota DPR.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasal 245 ayat (1) sangat bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara hukum dan asas persamaan kedudukan dihadapan hukum (Equality Before the Law) atau Inkonstitusional.
            Isu Dua:
Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) bahwa setiap rancangan undang-undang, termasuk revisi UU MD3 dibahas oleh DPR bersama sama dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Dalam hal tersebut, Presiden dapat memerintahkan menteri tertentu untuk mewakili dirinya dalam membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR. Hal tersebut didasari oleh Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Sehingga kehadiran menteri dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut sudah cukup mewakili kehadiran Presiden. Artinya, menteri yang ditugasi tersebut tetap membahas Rancangan Undang-Undang atas nama Presiden, bukan atas nama dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang termasuk revisi UU MD3 dibahas oleh DPR bersama sama dengan Presiden dapat terpenuhi. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang yang memperoleh kesepakatan bersama selanjutnya dimintakan tanda tangan Presiden untuk pengesahan nya.
Selanjutnya, apabila Revisi UU MD3 yang telah disepakati oleh DPR bersama sama dengan Presiden (yang diwakili oleh menteri) tidak ditandatangani oleh Presiden dengan berbagai macam alasan, menurut pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, Revisi UU MD3 tersebut otomatis sah menjadi Undang-Undang dan wajib untuk diundangkan. Sehingga pengesahan dari Presiden tidak diperlukan lagi, karena Konstitusi menganggap bahwa Presiden telah setuju dengan suatu Undang-Undang ketika menyepakati bersama dengan DPR.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa proses perubahan Rancangan Undang-Undang tentang Revisi UU MD3 menjadi Undang-Undang tersebut telah sah dan sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945.

V.                Kesimpulan
Dengan analisis terhadap isu satu dan isu dua, dapat disimpulkan bahwa Pasal 122 huruf k UU MD3 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 serta Prinsip Negara Hukum dan asas Equality Before the Law.
Namun karena proses pembentukan UU MD3 yang telah sesuai dengan Pasal 20 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945, UU MD3 sah dan berlaku sejak tanggal diundangkan.
Oleh karena itu, proses pembentukan dan pengundangan UU MD3 telah benar dan tepat sesuai dengan ketentuan Konstitusi. Namun, apabila masyarakat memandang bahwa materi dari UU MD3 bertentangan dengan Konstitusi, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan Judicial Review terhadap UU MD3 melalui Mahkamah Konstitusi.

Legal Opinion
Disusun tanggal 19 April 2018




Referensi:
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum. 2016. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar