I.
Kasus Posisi:
Pada
tanggal 12 Februari 2018 Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden (yang
diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM) menyetujui revisi atas Undang-Undang
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Revisi
terhadap Undang-Undang MD3 tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat
karena DPR dinilai anti kritik dan menjadi kebal hukum. Hal itu dikarenakan
perubahan dalam Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Akibat
revisi UU MD3 ini terjadi banyak protes di kalangan masyarakat yang menuntut UU
MD3 yang telah disetujui agar dibatalkan.
Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo, mendorong pihak yang tidak setuju dengan
revisi UU MD3 untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan Judicial Review. Joko Widodo sendiri diketahui
menolak menandatangani UU MD3 yang telah disahkan tersebut karena belum
menerima klarifikasi dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pasal
pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat.
Namun
walaupun Presiden menolak menandatangani UU MD3 yang telah direvisi tersebut,
UU itu akan otomatis sah dan berlaku terhitung 30 hari sejak UU MD3 tersebut
disetujui bersama. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Maret 2018, Revisi UU MD3
yang telah disetujui bersama tersebut resmi diundangkan menjadi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018.
I.
Sumber Hukum:
1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Pasal 20 ayat (2) : “Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.”
Pasal 20 ayat (4) : “Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.”
Pasal 20 ayat (5) : “Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.”
Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 28J ayat (2) : “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
2. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah
Pasal 122 huruf k : “mengambil
langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Pasal 245 ayat (1) : “Pemanggilan
dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya
tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden
setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 49 ayat (2) : “Presiden
menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama
DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
pimpinan DPR diterima.”
III.
Isu Hukum:
Apakah
Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 yang
dianggap kontroversial oleh masyarakat karena anti kritik dan menjadikan DPR
kebal hukum sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Apakah
proses pengundangan UU MD3 sah dan sesuai dengan Pasal 20 ayat (2), Pasal 20
ayat (4), dan Pasal 20 ayat (5) meskipun Presiden tidak menandatangani UU MD3 yang
telah disetujui bersama?
IV.
Analisis:
Isu
Satu:
Isu pertama
terbagi menjadi 2 pokok bahasan yaitu terkait anti kritik yang didasarkan pada
Pasal 122 huruf k sesuai atau tidak dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan
terkait DPR menjadi kebal hukum yang didasarkan pada Pasal 245 ayat (1) sesuai
atau tidak dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945:
a.
Anti-Kritik
Kontroversi terhadap Pasal 122 huruf k UU
No.2 Tahun 2018 yang oleh masyarakat dinilai merupakan perwujudan dari sikap
DPR yang anti kritik karena dalam pasal tersebut ditentukan bahwa DPR atau
anggota DPR dapat melakukan langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap
setiap orang yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR, termasuk
pendapat atau kritik yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.
Sehingga apabila ada orang yang melakukan kritik atau mengeluarkan pendapatnya
terhadap DPR atau anggota DPR dan dinilai merendahkan kehormatan, maka orang
tersebut dapat diproses hukum atau proses lainnya.
Sedangkan, Pasal 28E ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 sendiri telah menjamin hak hak warga negara termasuk didalamnya hak
untuk dapat mengeluarkan pendapat secara bebas. Sehinngga seharusnya seseorang tidak
dapat dituntut secara hukum atau tuntutan lain nya dikarenakan kritik atau
pendapatnya.
Sehingga muncul pertanyaan apakah Pasal
122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945?
Untuk itu perlu dipahami arti kebebasan
berpendapat serta batasan batasan nya.
Berdasarkan Pasal 28J ayat (2), hak hak
warga negara dibatasi oleh:
1)
Hak
dan Kebebasan orang lain;
2)
Nilai
moral dan nilai keagamaan;
3)
Keamanan
dan ketertiban umum.
Sehingga
seharusnya jika pendapat atau kritik yang ditujukan pada DPR atau anggota DPR
telah sesuai dengan nilai moral dan nilai keagamaan, menghormati hak dan
kebebasan orang lain serta tidak menimbulkan ancaman terhadap keamanan dan
ketertiban umum, orang yang melakukan kritik tersebut tidak dapat disalahkan
dan dituntut dalam bentuk apapun, baik hukum atau bentuk tuntutan lain.
Sebaliknya,
jika ternyata pendapat atau kritik yang disampaikan oleh seseorang tidak
memerhatikan ketentuan Pasal 28J ayat (2) tersebut dan cenderung merendahkan
martabat dan kehormatan, apalagi mengandung fitnah yang ditujukan pada diri
pribadi anggota DPR, maka orang tersebut sudah selayaknya dituntut secara
hukum.
Dengan
kata lain, hak hak warga negara yang ditentukan dalam pasal 28A-28J UUD NRI
Tahun 1945, termasuk hak mengeluarkan pendapat atau kritik harus memerhatikan
batasan batasan tersebut.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa keberadaan pasal 122 huruf k UU No.2 Tahun 2018 telah
sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan catatan
memerhatikan hubungan atau kaitan pasal 28E ayat (3) dan pasal 28J ayat (2).
b.
Kebal Hukum
Kontroversi
berikutnya dalam UU MD3 yaitu berkaitan dengan kekebalan hukum yang didapatkan
anggota DPR karena berdasarkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, anggota DPR yang akan
dipanggil atau dimintai keterangan terkait tindak pidana yang melibatkan
dirinya dan diluar kewenangan dan tugasnya sebagai anggota DPR harus
mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari Presiden, dengan terlebih dahulu
mendapat pertimbangan Dewan Kehormatan Dewan.
Namun
pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 yang menjamin bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan
hukum (Equality Before the Law).
Sehingga seharusnya tidak ada satupun klasifikasi tindak pidana yang harus
mendapatkan izin tertulis dari Presiden sebelum dapat dilakukan pemanggilan dan
permintaan keterangan terkait tindak pidana yang melibatkan anggota DPR.
Dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan jelas disebutkan frasa
“Setiap Orang”. Artinya baik Presiden, anggota DPR, pejabat pemerintah maupun
masyarakat biasa memiliki kedudukan yang sama didepan hukum, tanpa memandang
kedudukan sosial atau ekonomi orang tersebut.
Sehingga
tidak benar jika anggota DPR yang melakukan tindak pidana yang tidak ada kaitan
nya dengan tugas dan wewenangnya sebagi anggota DPR diberikan hak khusus agar
dapat dipanggil dan dilakukan pemeriksaan hukum. Hak imunitas DPR hanya
terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan wewenangnya dalam menjalankan tugas
sebagai anggota DPR.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pasal 245 ayat (1) sangat bertentangan dengan prinsip
Indonesia sebagai negara hukum dan asas persamaan kedudukan dihadapan hukum (Equality Before the Law) atau
Inkonstitusional.
Isu
Dua:
Berdasarkan
Pasal 20 ayat (2) bahwa setiap rancangan undang-undang, termasuk revisi UU MD3
dibahas oleh DPR bersama sama dengan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
Dalam
hal tersebut, Presiden dapat memerintahkan menteri tertentu untuk mewakili
dirinya dalam membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR. Hal tersebut
didasari oleh Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Sehingga
kehadiran menteri dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut sudah cukup
mewakili kehadiran Presiden. Artinya, menteri yang ditugasi tersebut tetap
membahas Rancangan Undang-Undang atas nama Presiden, bukan atas nama dirinya
sendiri. Sehingga dengan demikian, ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU No.12 Tahun
2011 yang menyebutkan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang termasuk revisi UU
MD3 dibahas oleh DPR bersama sama dengan Presiden dapat terpenuhi. Oleh karena
itu, Rancangan Undang-Undang yang memperoleh kesepakatan bersama selanjutnya
dimintakan tanda tangan Presiden untuk pengesahan nya.
Selanjutnya,
apabila Revisi UU MD3 yang telah disepakati oleh DPR bersama sama dengan
Presiden (yang diwakili oleh menteri) tidak ditandatangani oleh Presiden dengan
berbagai macam alasan, menurut pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, Revisi UU
MD3 tersebut otomatis sah menjadi Undang-Undang dan wajib untuk diundangkan.
Sehingga pengesahan dari Presiden tidak diperlukan lagi, karena Konstitusi
menganggap bahwa Presiden telah setuju dengan suatu Undang-Undang ketika
menyepakati bersama dengan DPR.
Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa proses perubahan Rancangan Undang-Undang
tentang Revisi UU MD3 menjadi Undang-Undang tersebut telah sah dan sesuai
dengan ketentuan pasal 20 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945.
V.
Kesimpulan
Dengan
analisis terhadap isu satu dan isu dua, dapat disimpulkan bahwa Pasal 122 huruf
k UU MD3 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 serta Prinsip Negara Hukum dan asas Equality Before the Law.
Namun
karena proses pembentukan UU MD3 yang telah sesuai dengan Pasal 20 ayat (2),
ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945, UU MD3 sah dan berlaku sejak tanggal
diundangkan.
Oleh
karena itu, proses pembentukan dan pengundangan UU MD3 telah benar dan tepat
sesuai dengan ketentuan Konstitusi. Namun, apabila masyarakat memandang bahwa
materi dari UU MD3 bertentangan dengan Konstitusi, masyarakat memiliki hak
untuk mengajukan Judicial Review terhadap UU MD3 melalui Mahkamah Konstitusi.
Legal Opinion
Disusun tanggal 19 April 2018
Referensi:
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum. 2016. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar